Semenjak Banten menjadi daerah otonom baru pada Tanggal 4 Oktober tahun 2000, berdasarkan UU No. 23 tahun 2000 tentang pembentukan Provinsi Banten, baru satu tahun kemudian tahun 2001 Majlis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Banten dibentuk. Pembentukan tersebut berdasarkan Surat Keputusan Dewan Pimpinan MUI Pusat Nomor 145/MUI/IV/2001 dan atas dasar surat tersebut MUI Banten menjalankan roda organisasi dan menyusun komisi-komisi diantaranya:
- Komisi ukhuwah islamiyah dan kerukunan antar umat beragama.
- Komisi pengembangan pendidikan islam dan kaderisasi ulama.
- Komisi pengembangan perekonomian umat.
- Komisi fatwa dan perundang-undangan.
- Komisi pengembangan dakwah islamiyah
- Komisi hubungan antar organisasi dan luar negeri.
Masa khidmat pertama MUI Banten, pada era itu terpilih sebagai ketua Umum Prof. KH. Wahab Afif M.A. untuk masa khidmat 2001-2006 dan 2006-2011 untuk periode kedua. Kemudian berdasarkan keputusan Formatur Musda III terpilih ketua Umum MUI Banten Dr. H. M Romly dan Sekretaris Umumnya Dr. Zakaria Syafe’i masa khidmat 2011-2016 dan terpilih kembali untuk masa khidmat kedua 2016-2021.
Kini setelah dua dasawarsa ada fenomena baru kepemimpinan MUI Banten masa khidmat 2021-2026, karena ketua umum terpilih KH. TB Hamdi Ma’ani merupakan Sang Kyai lengkap dengan lanskap tradisi santri yang mengitarinya. Beliau merupakan trah ulama kharismatik salah satu pendiri Mathlaul Anwar sekaligus juga yang memelopori kelahiran NU Banten dan pada akhirnya mampu menjadikan Banten sebagai tuan rumah muktamar NU yang dipusatkan di Menes kala itu, kini MALNU.
Mementum baru ini membawa angin segar bagi MUI Banten sebagai wadah ulama yang menjembatani Umat Islam khususnya, dengan umaro. Karena selama ini kultur yang dibangun pendekatan akademisi-birokratis karena dasawarsa pertama pemimpinnya akademisi, dan dasawarsa kedua adalah seorang birokrat.
Akademisi dan birokrasi jelas secara psikologis berbeda dengan sang kyai yang banyak bergelut dengan permasalahan umat juga santri. Tradisi sang kyai karena terbiasa dengan populis sehingga pendekatannya tak melulu harus normatif tanpa mencermati konteks dan fenomena. Akhirnya tercatat MUI Banten dasawarsa pertama mengenghembuskan isu syari’atisasi Islam, dan dasawarsa kedua “pengharaman” tradisi Debus sehingga menimbulkan polemik di akar rumput.
MUI Banten sebagai wadah ulama seharusnya berdiri ditengah-tengah antara tekstualis fundamentalis vs kontekstual kulturalis. Sehingga menghasilkan win-win solution bagi umat.
Cara pandang moderat merupakan tawaran yang harus diusung untuk MUI Banten kedepan dan seyogyanya tak terjebak lagi dengan sektarian dengan label memberlakukan Syariat Islam.
Banten kaya akan tradisi adiluhung dalam kultur. Lantas apa jadinya lembaga yang dianak-emaskan penguasa sekaligus memiliki hak privillage itu kering kerontang dalam menghasilkan fatwa. Bukankah Sang Sultan Banten tempo dulu telah mampu mengawinkan budaya dan Islam ala Mbanten ini bisa dilihat dalam tradisi “Panjang Mulud”, syi’iran yang dibaca setelah salat tarawih. Dan tradisi mamaca hikayat tuan Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani.
Dalam tradisi kurikulum pesantren tradisional dikenal al-Awamil tata bahasa Arab bagi pemula dan disyarahi langsung oleh ulama kelahiran Banten Syeikh Nawawi Mandaya. Dari bermodal nahwu syaraf lengkap juga ushul fiqh-nya ulama Banten dinamis dalam mencerna wahyu juga hadits Nabi. Sehingga biasa melakukan salat hajat lidaf’il bala, sampai haul tuan Syeikh Abdul Qadir, juga tradisi manaqieb.
Demikian ulasan singkat ini, semoga MUI Provinsi Banten lebih populis tidak elitis.
Aa Bass
Ketua Lakpesdam PCNU Kab. Tangerang.